PENATAAN KAWASAN DAN ETIKA BISNIS
Nama : Alysa Yulia Septiani
NPM : 10213752
Kelas :4EA17
PENDAHULUAN
Masalah Pedagang Kaki lima (PKL)
tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul
setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam
pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang
publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek
kebersihan, keindahan dan kerapihan kota atau kita kenal dengan istilah 3K.
Oleh karena itu PKL seringkali menjadi target utama kebijakan – kebijakan
pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.
Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena
akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan
kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara
keduanya. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian
khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan,
dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal,
tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan
seperti adanya Perda yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti
ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan
masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan.
TEORI
Pengertian Pedagang Kaki Lima Menurut Para Ahli
Ada beberapa pengertian dan definisi pedagang kaki
lima menurut para ahli, antara lain :
a.Pedagang kaki lima ialah orang-orang
dengan modal relatif
kecil/sedikit berusaha (produksi-penjualan barang-barang/jasa-jasa) untuk memenuhi
kebutuhan kelompok konsumen
tertentu dalam masyarakat”. Usaha itu
dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana
informal (Eridian dalam Sudaryanti : 2000).
b.Pedagang
kaki lima ialah
pedagang golongan
ekonomi lemah
yang berjualan kebutuhan sehari-hari,
makanan atau jasa relatif kecil,
modal sendiri atau modal lain, baik
mempunyai
tempat berdagang tetap atau tidak tetap (berpindah-pindah)
di
tempat-tempat yang terlarang berjualan (Fakultas Hukum UNPAR dalam
Sudaryanti : 2000).
Karafir
(1977:4) mengemukakan bahwa pedagang kaki lima adalah pedagang yang
berjualan di suatu tempat umum seperti tepi jalan, taman-taman, emperemper toko
dan pasar-pasar tanpa atau adanya izin usaha dari pemerintah. Dari kedua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima adalah mereka yang
berusaha di tempat-tempat umum tanpa atau adanya izin dari pemerintah. Bromley
(Manning, 1991:228) menyatakan bahwa:
“Pedagang
kaki lima adalah suatu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan
kota di Afrika, Asia, Timur Tengah, atau Amerika Latin. Namun meskipun penting,
pedagang-pedagang kaki lima hanya sedikit saja memperoleh perhatian akademik
dibandingkan dengan kelompok pekerjaaan utama lain”
Pengertian Penggusuran Menurut Para
Ahli
Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara
langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap
penduduk yang menggunaan sumber-daya lahan untuk
keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena
keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran
biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya
bendungan.
Di kota besar, penggurusan kampung miskin
menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak
kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta
melenyapkan aset hunian. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak
memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Akan tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk
menanggulangi penduduk liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak
membayar tanah. Dan lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti
transmigrasi
Untuk menganalisa permasalahan
penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta, ada beberapa teori yang
dapat digunakan, yaitu Teori Anomie milik R.K. Merton dan Teori Lower Class
Culture (Teori Budaya Kelas Bawah) milik Walter B. Miller.
Dalam Teori Anomie milik R.K.Merton, ada 5 (lima) premis, yaitu :
a. Konformiti, yaitu masyarakat masih menerima nilai-nilai lama karena ada tekanan sosial.
b. Inovasi, yaitu masyarakat masih mengacu pada tujuan hidup yang ingin dicapai tetapi mengubah sarana untuk pencapaiannya.
c. Ritualisme, yaitu masyarakat menyesuaikan diri dengan cara baru untuk mencapai kesuksesan namun norma-norma lama tidak ditinggalkan.
d. Retreatism (Penarikan diri), yaitu masyarakat lepas pada kebudayaan dan melampiaskan diri pada ilusi (mabuk, narkoba).
e. Rebellion (Pemberontakan), yaitu masyarakat ingin mengubah sistem tetapi tidak punya kemampuan.
Sedangkan dalam Teori Budaya Kelas Bawah, terdapat 6 (enam) premis, yaitu :
a. Trouble (kesulitan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh gemar mencari gara-gara atau keributan.
b. Toughness (kenekatan/ketangguhan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh sifatnya nekat (umumnya ditandai dengan simbol-simbol pada badannya, misalnya tato).
c. Smartness (kecerdikan/kelicikan), yaitu penghuni daerah kumuh berusaha untuk menipu dan tidak tertipu.
d. Excitement (kegembiraan yang berlebihan), yaitu penghuni daerah kumuh sangat konsumtif (mabuk-mabukan, prostitusi, dsb).
e. Fate (nasib), penghuni daerah kumuh merasa sudah ditakdirkan seperti itu (bergelut dengan kekerasan/kejahatan), tidak ada usaha untuk merubah.
f. Autonomy (kemandirian), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh cenderung tidak mau diganggu dan mengganggu orang lain.
Dalam Teori Anomie milik R.K.Merton, ada 5 (lima) premis, yaitu :
a. Konformiti, yaitu masyarakat masih menerima nilai-nilai lama karena ada tekanan sosial.
b. Inovasi, yaitu masyarakat masih mengacu pada tujuan hidup yang ingin dicapai tetapi mengubah sarana untuk pencapaiannya.
c. Ritualisme, yaitu masyarakat menyesuaikan diri dengan cara baru untuk mencapai kesuksesan namun norma-norma lama tidak ditinggalkan.
d. Retreatism (Penarikan diri), yaitu masyarakat lepas pada kebudayaan dan melampiaskan diri pada ilusi (mabuk, narkoba).
e. Rebellion (Pemberontakan), yaitu masyarakat ingin mengubah sistem tetapi tidak punya kemampuan.
Sedangkan dalam Teori Budaya Kelas Bawah, terdapat 6 (enam) premis, yaitu :
a. Trouble (kesulitan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh gemar mencari gara-gara atau keributan.
b. Toughness (kenekatan/ketangguhan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh sifatnya nekat (umumnya ditandai dengan simbol-simbol pada badannya, misalnya tato).
c. Smartness (kecerdikan/kelicikan), yaitu penghuni daerah kumuh berusaha untuk menipu dan tidak tertipu.
d. Excitement (kegembiraan yang berlebihan), yaitu penghuni daerah kumuh sangat konsumtif (mabuk-mabukan, prostitusi, dsb).
e. Fate (nasib), penghuni daerah kumuh merasa sudah ditakdirkan seperti itu (bergelut dengan kekerasan/kejahatan), tidak ada usaha untuk merubah.
f. Autonomy (kemandirian), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh cenderung tidak mau diganggu dan mengganggu orang lain.
Contoh Kasus:
Kasus penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di
Ibukota Jakarta, seperti pada Pedagang Kaki
Lima (PKL) Pasar Minggu Jakarta Selatan menimbulkan korban dan kerugian bagi
masyarakat yang berdagang di lokasi-lokasi penggusuran tersebut. Pasar minggu Jakarta selatan beraktifitas
pada pagi jam 08.00-12.00 perdagangan dipegang oleh toko dan pasar swalayan
Robinson dan Ramayana. Kemudian setelah jam 12.00 sampai jam 19.00 wib
digunakan oleh pedagang buah-buahan dan juga pakaian di sepanjang jalan dari
kecematan pasar minggu sampai pertigaan pasar minggu. Lapak berderet dijalanan
dan juga berbagai tempat lowong didepan robinson dan juga Ramayana. Akses jalan
yang tidak mencukupi bagi pengunjung pasar mengakibatkan pasar melebar ke
jalan-jalan. Hal ini memicu kemacetan
dan kesemrawutan. Khususnya di daerah sekitar stasiun Pasar Minggu yang tak luput
dari penggusuran. Pasar minggu adalah pasar strategis bagi warga luar Jakarta
yang bekerja di berbagai tempat di Ibukota Jakarta. Macetnya jalanan pasar
minggu kala pagi dan sore terkhusus dari pancoran sampai perlintasan kereta api
telah menjadi hal yang biasa terjadi. Bila dahulu sebelum penggususan kita
menemukan PKL berjejeran di sekitar jalan, namun sekarang masyarakat mesti berjalan
masuk dalam pasar untuk mendapatkan berbagai keperluan. Saat ini pedagang buah
tidak bisa menjajal dagangannya ditrotoar pasar minggu
ANALISIS
Kasus
diatas menjelaskan betapa banyaknya etika bisnis yang harus diperhatikan demi
keberlangsungan usaha. . Penggusuran PKL di trotoar-trotoar dalam
satu sisi merupakan upaya untuk memperoleh hak pejalan kaki untuk dapat
berjalan di trotoar dengan nyaman. Namun, di sisi lain para PKL juga memiliki
hak untuk berjualan demi memperoleh keuntungan. Dengan demikian, dalam teori
hak ini setiap pihak selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan
tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai saran demi tercapainya
tujuan lain. Perilaku PKL
diatas yang menggunakan fasilitas umum sebagai tempat usaha, tanpa
memeperhatikan dampak buruk bagi masyarakat, seperti kemacetan maupun
mengganggu keindahan pemandangan disekitar. Hal ini perlu ditindak lanjuti agar
tidak menimbulkan dampak negative dalam jangka waktu yang lama. Maka dari itu
pemerintah turun tangan dalam melakukan penggusuran terhadap PKL yang melanggar
maupun mengganggu ketertiban umum. Hal yang dilakukan pemerintah sudah benar,
niatnya pun baik agar masyarakat tidak terganggu oleh pedagang yang berjualan
sembarangan. Selain itu pemerintah sudah memeberikan alternative lain bagi PKL
yang terkena gusuran, yaitu mereka dapat
berdagang di tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah dengan kesepakatan tertentu.
Namun ada saja PKL yang tidak bisa menerima hal ini, karena mereka sudah merasa
tempat yang dahulu sangat strategis. Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka
lakukan itu telah melanggar etika bisnis. Tidak hanya dalam kaidah etika
bisnis, dalam etika sehari-hari pun seseorang tidak boleh membawa dampak buruk
bagi masyarakat sekitarnya, begitu juga dalam etika bisnis. Suatu usaha tidak
boleh membawa dampak buruk bagi masyarakat banyak.
REFERENSI